BLT Dana Desa adalah salah satu program bantuan khusus yang diberikan pemerintah kepada warga terdampak Covid-19. Selain BLT Dana Desa yang dikelola Kemendes PDTT, ada pula bansos dan bantuan tunai dari Kementerian Sosial. Bantuan dari Kemensos juga akan diperpanjang hingga Desember 2020.
Sebenarnya dalam melaksanakan program BLT dana desa itu tidak perlu bingung, cukup berpedoman saja pada Permendagri 114/2014 dan 20/2018 dengan memperhatikan peraturan tentang kedaruratan.
Kenapa harus gaduh?
Kenapa terlihat gagap?
Jangan gaduh, nanti ditertawai anak-anak. Jangan pula menunjukan kegagapan, saya khawatir nanti rakyat mengatakan idiot.
Sederhana saja, begini mekanismenya:
1. Perencanaan
Untuk menentukan program yang terkait dengan kondisi darurat, maka dapat ditentukan mekanisme sbb:
A. Musdes insidensial:
1) diselenggarakan dan dipimpin oleh BPD;
2) difasilitasi Pemdes;
3) mengundang seluruh pengurus LKD, Lembaga Kemasyarakatan lainnya, Pimpinan Ormas, LSM, dan Tokoh Masyarakat tingkat desa.
B. Musdes menentukan antara lain:
1) sepakat atas kondisi darurat.
2) pagu anggaran;
3) pelaksananya;
4) macam-macam kegiatan belanja;
5) teknik pelaksanaan;
5) waktu pelaksanaan.
C. Khusus tentang penerima program, harus diidentifikasi antara lain:
1) keluarga terdampak, bukan hanya keluarga miskin, tetapi keluarga siapapun yang ikut atau menjadi terdapat bencana covid-19;
2) berdasarkan KRT (Kepala Rumah Tangga) bukan KK (Kepala Keluarga);
3) berdasarkan status kependudukan devacto;
4) non PKH, BPNT, dan BST;
D. Mengenai besaran nominal bisa disepakati dengan memperhatikan:
1) pagu anggaran;
2) jumlah keluarga terdampak;
3) stratifikasi nominal berdasarkan jumlah anggota keluarga.
4) secara langsung dan tunai.
2. Pelaksana Kegiatan Anggaran
Pelaksanaan program BLT DD itu karena menggunakan anggaran sebagaimana yang tertuang dalam APBDes, maka pelaksananya harus berpedoman pada Permendagri 114/2014 dan 20/2018, yaitu dilaksanakan oleh PPKD, PKA, dan TPK serta masyarakat secara partisipatif.
3. Penatausahaan
Demikian pula dengan penatausahaannya harus berpedoman pada Permendagri 114/2014 dan 20/2018, serta memperhatikan sistem yang terprogram dalam Siskeudes.
Dengan demikian tidak perlu direpotkan dan dibingungkan oleh keadaan. Karena sesungguhnya Bika dicermati, kegaduhan dan kesan kegagapan ini akibat dari:
1. Banyaknya peraturan dibuat mendadak, tanpa kajian mendalam yang sebenarnya tidak berguna bagi sistem pengelolaan keuangan desa.
2. Masih adanya keinginan kuat pemerintah di atasnya untuk “menjajah” desa yang ujungnya adalah “berkat” dan “upeti”.
3. Keberadaan BPD yang tidak kunjung paham tugas dan fungsinya, tidak difungsikan, atau tidak secara maksimal memfungsikan diri, bahkan dianak tirikan oleh pembina.
4. Masih adanya praktik sebagai penguasa bagi Pemerintah Desa, tidak sebagai pemimpin rakyat. Bahkan perilaku korup.
5. Kontrol NGO dan rakyat yang lemah, karena tidak banyak paham tentang sistem tata kelola pemerintahan desa.
Selanjutnya bagaimana bagi rakyat untuk menghadapi kondisi ini, solusinya adalah rakyat harus memulai mencerdaskan diri tentang ilmu tata kelola pemerintahan desa. Sebab pengetahuan itu akan berbanding lurus dengan kemauan dan keberanian.
Sudah waktunya rakyat harus peka dan peduli dengan desanya. Desa itu milik rakyat, maka rakyat harus berdaulat.
Baca Juga: